Kisah
Si Pitung menggambarkan sosok pendekar Jakarta dalam menghadapi
ketidakadilan yang ditimbulkan oleh penguasa Hindia Belanda pada masa itu.
Kisah
ini diyakini nyata keberadaannya oleh para tokoh masyarakat Betawi terutama di
daerah Kampung Marunda di mana terdapat Rumah dan Masjid lama.
Sejarah
Pada dasarnya ada tiga versi yang
tersebar di masyarakat mengenai si Pitung yaitu versi Indonesia, Belanda, dan
Cina. Masing-masing penutur versi cerita tersebut memiliki versi yang berbeda
dari cerita si Pitung itu sendiri. Apakah Si Pitung sebagai seorang pahlawan
berdasarkan versi cerita Indonesia, dan sebagai seorang penjahat jika dilihat
dari versi Belanda. Cerita Si Pitung ini dituturkan oleh masyarakat Indonesia
hingga saat ini dan menjadi bagian lengenda serta warisan budaya Betawi
khususnya dan Indonesia umumnya. Kisah Legenda Si Pitung ini kadang-kadang
dituturkan menjadi rancak (sejenis balada), sair, atau cerita Lenong. Menurut
versi Koesasi (1992), Si Pitung diidentikan dengan tokoh Betawi yang membumi,
muslim yang shaleh, dan menjadi contoh suatu keadilan sosial.
Tempat Lahir
Si
Pitung lahir di daerah Pengumben sebuah kampung di Rawabelong yang pada saat
ini berada di sekitar lokasi Stasiun Kereta Api Palmerah. Ayahnya bernama Bang
Piung dan ibunya bernama Mpok Pinah. Pitung menerima pendidikan di pesantren
yang dipimpin oleh Haji Naipin (seorang pedagang kambing). Seperti yang
dikisahkan dalam film Si Pitung (1970).
Nama Asli Si Pitung
Si
Pitung merupakan nama panggilan asal kata dari Bahasa Jawa Pituan Pitulung
(Kelompok Tujuh), kemudian nama panggilan ini menjadi Pitung. Nama asli Si
Pitung sendiri adalah Salihun (Salihoen).
Awal Legenda
Menurut
versi van Till (1996) Si Pitung merupakan seorang kriminal, yang diawali ketika
Si Pitung menjual kambing di pasar Tanah Abang, kemudian dicuri oleh para
“centeng” (Si Gomar menurut versi Film Si Pitung (1970) tuan tanah. Si pitung
kembali pulang dengan tangan hampa, namun Si Pitung hanya tersenyum dan
menjawab bahwa dia telah di rampok.Ayah Pitung yang marah kemudian menyuruh
Pitung pergi mencari uang tersebut dan akhirnya dapat menemukannya kembali. Namun,
para pencuri alias "centeng" tersebut mengajak Si pitung untuk
bergabung sebagai perampok dan menjadi ketua mereka. Pada awalnya Si pitung
menolak, tetapi akhirnya Si pitung bergabung dengan mereka. Legenda yang
dikisahkan dalam film Si Pitung, Si Pitung dan Kawanan-nya menggunakan cara
yang “pintar” dengan menyamar sebagai pegawai Pemerintah Belanda (Di Versi Film
Si Pitung, Pitung sebagai "Demang Mester Cornelis / Wilayah Mester
Cornelis saat ini disebut sebagai Jatinegara merupakan bagian dari Kota Jakarta
Timur") dan Dji-ih sebagai “Opas”). Kemudian melakukan penipuan dengan
memberikan surat kepada Haji Saipudin agar Haji Saipudin menyimpan uang di
tempat Demang Mester Cornelis. Pitung menyatakan bahwa uang tersebut dalam
pengawasan pencurian. Haji Saipudin setuju kemudian Pitung dan Kelompoknya
membawa lari uang tersebut.
Akibat
dari hal ini kemudian Si Pitung dan Kawanannya menjadi buronan “kompenie”. Hal
ini menarik perhatian komisaris polisi yang bernama Van Heyne (“Schout Van Heyne,
atau Van Heijna, Scothena, atau “Tuan Sekotena”). Secara resmi menurut Van Till
(1996) nama petugas polisi pada saat ini bernama A.W. Van Hinne yang pernah
bertugas di Batavia dari tahun 1888 - 1912. (Menurut catatan kepolisis Belanda.
Van Hinne memulai karier sebagai pegawai klerikal Pemerintah Belanda, kemudian
menjadi Deputi Kehutanan, dan Polisi di beragam tempat di Indonesia. Van Hinne
menderita sakit yang serius, sesudah dikembalikan ke Eropa untuk penyembuhan.
Pada akhir tahun 1880 Van Hinne menjadi seorang Perwira Polisi di Batavia
(Stambock van Burgerlijke Ambtenaren in Nederlandsch-Indie en Gouvernements
Marine, ARA (Aigemeen Rijksarchief), Den Haag, register T.f. 274). Van Hinne
segera memburu Si Pitung dengan membabi buta. Akhirnya dia dapat menangkap
Pitung, tetapi kemudian Si Pitung berhasil melarikan diri dari tahanan
ka-Demangan Meester Cornelis. Van Till (1996) menyatakan bahwa Si Pitung mampu
bebas dengan kekuatan “magis” tetapi menurut versi Film Si Pitung (1970), Si
Pitung lepas dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam.
Kemudian
Hinne menekan Haji Naipin (Guru Si Pitung) untuk membuka rahasia kesaktian si
Pitung berupa “jimat” sehingga Hinne dapat menangkap Si Pitung secara lebih
cepat. Versi lainya menyatakan bahwa Pitung dikhianati oleh temannya sendiri
(kecuali Dji-ih) walaupun versi ini diragukan kebenarannya. Tetapi menurut
Versi Film Si Pitung Banteng Betawi (1971) dikhianati oleh Somad yang memberi
tahukan kelemahan Pitung untuk mengambil “jimatnya”. Kisah lainnya menyatakan
bahwa Pitung telah diambil “Jimat Keris”-nya sehingga kesaktiannya menjadi
lemah. Versi lainnya mengatakan bahwa kesaktian Pitung hilang setelah dipotong
rambut, dan juga versi lain mengatakan bahwa kesaktiannya hilang karena
sesorang melemparkan telur. Akhirnya Pitung meninggal karena luka tembak Hinne
(Berdasarkan versi Film Si Pitung, Pitung mati tertembak karena peluru emas).
Sesudah Si Pitung meninggal, makamnya dijaga oleh tentara karena percaya bahwa
Si Pitung akan bangkit dari kubur hal ini tersirat dari Rancak Si Pitung dalam
Van Till (1996):
Si
Pitung sudah mati dibilangin sama sanak sudaranya
Digotong
di Kerekot Penjaringan kuburannya
Saya
tau orang rumah sakit nyang bilangin
Aer
keras ucusnya dikeringin
Waktu
dikubur pulisi pade iringin
Jago
nama Pitung kuburannya digadangin
Yang
gadangin kuburannya Pitung dari sore ampe pagi
Kalo
belon aplusan kaga ada nyang boleh pegi
Sebab
yang gadangin waktu itu sampe pagi
Kabarnya
jago Pitung dalam kuburan idup lagi
Yang
gali orang rante mengaku paye
Belencong
pacul itu waktu suda sedie
Lantaran
digali Tuan Besar kurang percaye
Dilongok
dikeker bangkenye masi die
Memang
waktu itu bangke Pitung diliat uda nyata
Dicitak
di kantor, koran kantor berita
Ancur
rumuk tulang iganya, bekas kena senjata
Nama
Pitung suda mati Tuan Hena ke Tomang bikin pesta
Pesta
itu waktu keiewat ramenye
Segala
permaenan kaga larangannya
Tuju
ari tuju malem pesta permisiannya
Sengaja
bikin pesta mau tangkep kawan-kawannya
Nama
Pitung mau ditangkep kawan-kawannya
Pitung Robin Hood ala Betawi
Menurut
Damardini (1993:148) dalam Van Till (1996):
Pitung
memang perampok. Mungkin saja Haji Samsudin dipukuli ketika itu. Kalau menurut
istilah sekarang, Pitung itu pengacau, dan dicari oleh Pemerintah. Pitung
memang jahat. Pekerjaannya merampok dan memeras orang-orang kaya. Menurut
kabar, hasil rampokannya dibagikan pada rakyat miskin. Namun sebenarnya tidak.
Tidak ada perampok yang rela membagi hasil rampokannya dengan cuma-cuma, bukan?
Menurut kabar, Pitung menyumbangkan uangnya pada mesjid-mesjid. Saat itu mesjid
hanya ada di Pekojan, Luar Batang, dan Kampung Sawah. Tidak ada bukti bahwa
Pitung mendermakan uangnya di sana.'
Pitung
menjadi karakter sebagai Robin Hood versi Betawi dikembangkan oleh Lukman
Karmani (Till, 1996).Karmani menulis novel Si Pitung, novel ini dikisahkan
bahwa Si Pitung sebagai pahlawan sosial. Menurut Rahmat Ali (1993).
'Pitung
sebagai tokoh kisah Betawi masa lampau memang dikenal sebagai perampok, tetapi
hasil rampokan itu digunakan untuk menolong orang-orang yang menderita. Dia
adalah Robin Hood Indonesia. Walaupun demikian pihak yang berwenang tidak
memberikan toleransi, orang yang bersalah harus tetap diberi hukuman yang
setimpal' (Rahmat Ali 1993:7)
Beragam
pro dan kontra banyak menyelubungi di balik kisah legenda Si Pitung ini, tetapi
pada dasarnya bahwa tokoh Si Pitung adalah cerminan pemberontakan sosial yang
dilakukan oleh "Orang Betawi" terhadap penguasa pada saat itu yaitu
Belanda. Apakah hal ini dipertanyakan valid atau tidaknya, kisah Si Pitung begitu
harum didengar dari generasi ke generasi oleh masyarakat Betawi sebagai tanda
pembebasan sosial dari belenggu penjajah. Hal ini ditunjukkan dari Rancak
Pitung di atas bagaimana Si Pitung begitu ditakuti oleh pemerintah Belanda pada
saat itu.
Kisah Nyata Si Pitung
Berdasarkan
penelusuran van Till (1996) berdasarkan Hindia Olanda 22-11-1892 (Koran
Terbitan Malaya (Malaysia pada saat
ini)). Pada tahun 1892 Si Pitung dikenal pada sebagai “One Bitoeng”,
“Pitang", kemudian menjadi “Si Pitoeng” (Hindia Olanda 28-6-1892:3;
26-8-1892:2). Laporan pertama dari surat kabar ini menunjukkan bahwa schout
Tanah Abang mencari rumah “One Bitoeng” di Sukabumi. Dari hasil penemuannya
ditemukan Jas Hitam, Seragam Polisi dan Topi, serta beberapa perlengkapan
lainnya yang digunakan untuk mencuri kampung (Hindia Olanda, 28-6-1892:2).
Sebulan kemudian polisi menggeledah rumahnya kembali dan ditemukan uang sebesar
125 gulden. Hal ini diduga uang curian dari Nyonya De C dan Haji Saipudin
seorang Bugis dari Marunda (Hindia Olanda 10-8-1892:2;2; 26-8-1892:2). Kemudian
Si Pitung menggunakan senjata untuk mencuri pada tanggal 30 Juli 1892, ketika
itu Si Pitung dan lima kawanannya (Abdoelrachman, Moedjeran, Merais, Dji-ih,
dan Gering) menerobos rumah Haji Saipudin dengan mengancam bahwa Haji Saipudin
akan ditembak.
Pada
tahun 1892 Pitung dan kawanannya ditangkap oleh polisi sesudah adanya nasihat
dari Kepala Kampung Kebayoran yang menerima 50 ringgit (Hindia Olanda
26-8-1892:2) untuk menangkap Si Pitung. Setelah ditangkap, kurang dari setahun
kemudian pada musim semi 1893, Pitung dan Dji-ih merencanakan kabur dengan cara
yang misterius dari tahanan Meester Cornelis. Sebuah investigasi kemudian
dilakukan oleh Asisten Residen sendiri, tetapi tidak berhasil.
Karena kejadian tersebut Kepala Penjara dicurigai melepaskan si Pitung dan Dji-ih. Akhirnya seseorang Petugas Penjara mengakui bahwa dia meminjamkan sebuah "belincong (sejenis linggis pencungkil)” kepada Si Pitung, yang kemudian digunakan untuk membongkar atap dan mendaki dinding (Hindia Olanda, 25-4-1893:3; Lokomotief 25-4 1893:2).
Karena kejadian tersebut Kepala Penjara dicurigai melepaskan si Pitung dan Dji-ih. Akhirnya seseorang Petugas Penjara mengakui bahwa dia meminjamkan sebuah "belincong (sejenis linggis pencungkil)” kepada Si Pitung, yang kemudian digunakan untuk membongkar atap dan mendaki dinding (Hindia Olanda, 25-4-1893:3; Lokomotief 25-4 1893:2).
Akibatnya,
Si Pitung lepas lagi. Berdasarkan rumor, Pitung pernah menampakkan diri ke
seorang wanita di sebuah perahu dengan nama Prasman. Detektif mencoba mencari
di kapal tersebut (Hindia Olanda, 12-5-1893:3), tetapi hasilnya Pitung tidak
dapat ditemukan. Semakin sulitnya menemukan Si Pitung, menyebabkan harga untuk
penangkapan Si Pitung menjadi meningkat sebesar 400 Gulden. Pemerintah Belanda
pada saat itu ingin "menembak mati" di tempat, tetapi sebagian
pejabat mengatakan jika Pitung ditembak justru akan menumbuhkan semangat
patriotik, sehingga niat ini diurungkan oleh kepolisian Batavia untuk menembak
ditempat walaupun pada akhirnya hal ini dilakukan juga.
Sebagai
tindakan balas dendam, Pitung melakukan pencurian secara kekerasan termasuk
dengan menggunakan sejata api. Akhirnya Pitung dan Dji-ih membunuh seorang
polisi intel yang bernama Djeram Latip (Hindia Olanda 23-9-1893:2). Dia juga
mencuri wanita pribumi, Mie dan termasuk pakaian laki-laki serta pistol
revolver dengan pelurunya. Pernyataan ini didukung oleh Nyonya De C seorang
pedagang wanita di Kali Besar menyatakan bahwa Pitung mencuri sarung yang
bernilai ratusan Gulden dari perahu-nya (Hindia Olanda 22-11-1892:2).
Dji-ih
ditangkap kembali di kampung halamannya, ketika sedang menderita sakit. Pada
saat itu Dji-ih pulang ke kampung halamannya untuk memperoleh pengobatan.
Kemudian dia pindah ke rumah orang tua yang dikenal. Kepala kampung pada saat
itu (Djoeragan) melaporkannya ke Demang kemudian memerintahkan tentara untuk
menangkap Dji-ih dirumahnya. Karena dia terlalu sakit, dia tidak berdaya untuk
melawan, walaupun pada saat itu pistol dalam jangkauannya (Hindia Olanda
19-8-1893:2). Dia menyerah tanpa perlawanan. Untuk menutupi hal ini kemudian
Pemerintah Belanda melansir di Java-Bode (15-8-1893:2) bahwa Dji-ih kabur ke
Singapura. Informan yang bertanggungjawab melaporkan Dji-ih kemudian ditembak
mati oleh Pitung di suatu tempat yang tak jauh dari Batavia beberapa minggu
kemudian.
“'Itoe
djoeragan koetika ketemoe Si Pitoeng betoelan di tempat sepi troes, Si
djoeragan menjikip pada Si Pitoeng dan dari tjipetnja Si Pitoeng troes ambil
pestolnja dari pinjang, lantas tembak si djoeragan itoe menjadi mati itoe
tempat djoega.' (Hindia Olanda 1-9-1893:2.)
Beberapa
bulan kemudian, di Bulan Oktober, Kepala Polisi Hinne mempelajari dari informan
bahwa Pitung terlihat di Kampung Bambu, kampung di antara Tanjung Priok dan
Meester Cornelis. Kemudian dalam perajalanannya Hinne diberikan laporan bahwa
Pitung telah pindah ke arah pekuburan di Tanah Abang (Hindia Olanda
18-10-1893), kemudian Hinne menembaknya dalan penyergapan itu. Pitung ditembak
di tangan, kemudian Pitung membalasnya. Kemudian Hinne menembak kedua kalinya,
tetapi, meleset, dan peluru ketiga mengenai dada dan membuatnya terjerembap di
tanah. Sehari sesudah kematiannya yaitu hari Senin, jenazah dibawa ke pemakaman
Kampung Baru pada jam 5 sore.
Setelah
Hinne menangkap Pitung setahun kemudian dia dipromosikan menjadi Kepala Polisi
Distrik Tanah Abang untuk mengawasi seluruh Metropolitan Batavia-Weltevreden.
Setelah kejadian tersebut Pemerintah Hindia Belanda melakukan pencegahan agar
"Pitung"-"Pitung" yang lain tidak terjadi lagi di Batavia.
Bahkan karena ketakutannya makam Si Pitung setelah kematiannya, dijaga oleh
Pemerintah Belanda agar tidak diziarahi oleh masyarakat pada waktu itu.
Kesaktian dan Kematian Si Pitung
Berdasarkan
cerita legenda, Si Pitung dapat dibunuh oleh Belanda dengan beragam argumen
tersebut di atas. Menurut Hindia Olanda (18-10-1893:2) sebelum ditangkap Pitung
dalam keadaan rambut terpotong, beberapa jam sebelum kematiannya pada hari
Sabtu. Seperti yang diceritrakan oleh legenda bahwa kesaktian Si Pitung hilang
akibat jimat-nya diambil orang (Versi Film Si Pitung Banteng Betawi), tetapi
yang menarik, versi lain menyatakan, bahwa Si Pitung dapat
di-"lemahkan" jika dipotong rambut-nya. Berdasarkan koran Hidia
Olanda dikatakan bahwa sebelum kematiannya Si Pitung telah dipotong rambutnya.
Pemakaman Si Pitung
Sesudah
kematian Si Pitung, makamnya dikawal oleh tentara, karena beberapa masyarakat
percaya dia akan bangkit dari kematian. Menurut Rancak Si Pitung dijelaskan
bagaimana kondisi sesudah kematian Si Pitung.
"Si
Pitung sudah mati dibilangin sama sanak sudaranya
Digotong
di Kerekot Penjaringan kuburannya
Saya
tau orang rumah sakit nyang bilangin
Aer
keras ucusnya dikeringin
Waktu
dikubur pulisi pade iringin
Jago
nama Pitung kuburannya digadangin
Yang
gadangin kuburannya Pitung dari sore ampe pagi
Kalo
belon aplusan kaga ada nyang boleh pegi
Sebab
yang gadangin waktu itu sampe pagi
Kabarnya
jago Pitung dalam kuburan idup lagi
Yang
gali orang rante mengaku paye
Belencong
pacul itu waktu suda sedie
Lantaran
digali Tuan Besar kurang percaye
Dilongok
dikeker bangkenye masi die
Memang
waktu itu bangke Pitung diliat uda nyata
Dicitak
di kantor, koran kantor berita
Ancur
rumuk tulang iganya, bekas kena senjata
Nama
Pitung suda mati Tuan Hena ke Tomang bikin pesta
Pesta
itu waktu keiewat ramenye
Segala
permaenan kaga larangannya
Tuju
ari tuju malem pesta permisiannya
Sengaja
bikin pesta mau tangkep kawan-kawannya
Nama
Pitung mau ditangkep kawan-kawannya."
Cerita Lainnya:
WARTAWAN yang mantan sineas Tanu TRH atau Tan Tjoei Hock menulis
soal Si Pitung di majalah Intisari terbitan April 1971.
Ia mengisahkan cerita yang didengar dari ibunya. Waktu itu, Pitung berada
di rumah kakeknya, tuan tanah Tionghoa yang punya tanah luas di daerah
pinggiran Jakarta. Walau kakeknya tuan tanah, rupanya Pitung bersahabat dengan
kakek Tanu.
Diceritakan Tanu, ibu bersama nenek dan beberapa bibinya di bagian
dalam rumah, sedang asyik main congklak. Sedang Pitung mengobrol bersama kakek
di depan. Seketika, Pitung masuk ke ruang dalam. Kepada para wanita itu ia
berbisik, “Jangan katakan kepada Tuan Hinne bahwa saya ada di sini.” Dengan
tenang ia terus masuk ke belakang, ke arah dapur.
Nenek, ibu, dan yang lain segera tahu bahwa schout van Hinne
(polisi Belanda yang mendapat tugas menangkap Pitung) menyatroni rumah kakek
Tanu. Dari ruang depan terdengar suara van Hinne bertanya. “Tempang (nama
kakek) mana Pitung?”
Dengan tenang kakek menjawab, “Pitung? Saya tidak melihatnya.”
“Jangan bohong, Tempang. Saya tahu dia ada di sini. Awas kalau kowe
berani sembunyikan dia.”
Tanu bercerita, kakeknya mempersilakan memeriksa sendiri. Van Hinne
masuk rumah diiringi beberapa bawahannya. Seluruh rumah digeledah, termasuk
kamar-kamar, kolong tempat tidur, sudut-sudut yang tersembunyi. Dapur dan
halaman belakang rumah juga tak luput dicek. Si Pitung tak ditemukan di rumah
itu.
Sebelum pulang, van Hinne mengancam, “Awas, Tempang! Saya tangkap kowe,
kalau berani sembuyikan Pitung!”
***
Pitung dipercaya memiliki sejumlah ajian sakti selain jago maen
pukul alias berkelahi. Konon, ia memiliki ajian Rawa Rontek (ajian yang
membuat dirinya kembali bugar dan hidup lagi selama menyentuh tanah, meski
sudah meninggal atau sekarat); ajian Halimunan (ajian yang membuat kehadirannya
seolah tak tampak oleh orang lain alias menghilang); dan ajian Pancasona (ajian
yang membuatnya kebal).
“Ketiga ajian itu diperoleh Pitung ketika belajar maen pukul dan
agama pada Haji Naipin di Pondok Pesantren Menes, Kampung Rawa Bebek, Banten,”
kata Umar Salbini, seorang pekerja seni Betawi yang diwawancara Windoro Adi
untuk bukunya, Batavia 1740: Menyisir Jejak Betawi (2010).
Bisa jadi, Pitung menerapkan ilmu ajian Halimunan hingga sosoknya
tak kelihatan kumpeni. Namun, menurut ibunda Tanu TRH, Pitung “dengan tubuhnya
yang kecil, sangat pandai menyembunyikan diri, dan bisa menyelinap di
sudut-sudut yang terlalu sempit bagi orang lain.”
Memangnya, seperti apa sosok Pitung? Sang bunda menuturkan, Pitung
“perawakannya kecil. Tingginya kira-kira sekian,” sang bunda menjelaskan
mengangkat sebelah tangannya. Tampang si Pitung sama sekali tak menarik
perhatian khalayak. Sikapnya pun tidak seperti jagoan. Kulit wajahnya agak
kehitam-hitaman dengan ciri khas: sepasang cambang panjang tipis dengan ujung
melingkar ke depan.
Sosok si Pitung yang berperawakan kecil agak bertentangan dengan
gambaran Pitung yang kita kenal selama ini. Pitung digambarkan sebagai pahlawan
yang gagah. Pemuda bertubuh besar, kuat, lagi keren. Pitung bertampang keren
muncul dalam film-film soal Pitung mulai dari zaman Belanda hingga Dicky
Zulkarnaen di tahun 1970-an.
Pada satu bagian novel Rumah Kaca (buku keempat tetralogi
Pulau Buru) Pramoedya Ananta Toer melukiskan Pitung berkumis dan berjenggot
jarang, berkulit langsat, tidak tinggi, berbadan gempal. Setiap melakukan
penyerangan, ia berjubah putih, bersorban, pada kiri dan kanannya berjalan dua
pembantunya mengapit membawakan tempat sirih dan senjatanya. (Rumah
Kaca, edisi 2002, hal. 58)
***
Bukan rumah Si Pitung di Marunda, Jakarta Utara. (dok.Antara)
Wajar saja bila tak ditemukan keseragaman atas sosok Pitung. Sosok
ini memang sulit dicari kebenaran sejarahnya. Kata Windoro Adi, dari mulut ke
mulut riwayat Pitung berubah. Kebenaran sejarah kemudian jadi tak penting lagi.
Yang utama, bagi masyarakat Betawi, mengabadikan keberpihakan Pitung pada kaum
miskin yang tertindas. Budayawan Betawi Ridwan Saidi dikutip Windoro, malah
mengartikannya sebagai cara masyarakat asli Betawi yang mulai terpinggirkan di
era 1970-an dengan menghadirkan sosok pahlawan Betawi.
Berdasarkan tulisan Jali Jengki, yang dikutip Windoro, Pitung lahir di Pos Pengumben, Sukabumi Ilir, Rawa Belong, Jakarta Barat tahun 1864. Pitung adalah bungsu dari 4 bersaudara pasangan Piun-Pinah.
Berdasarkan tulisan Jali Jengki, yang dikutip Windoro, Pitung lahir di Pos Pengumben, Sukabumi Ilir, Rawa Belong, Jakarta Barat tahun 1864. Pitung adalah bungsu dari 4 bersaudara pasangan Piun-Pinah.
Piun berasal dari Cikoneng, Banten, sedang Pinah dari desa
Singapura, Kecamatan Celancang, Cirebon Utara. Pinah memounyai adik bernama
Ji’ih yang tinggal di Kemandoran, Rawa Belong. Di kemudian hari, Pitung dan
Ji’ih jadi sepasang jagoan yang tak terpisahkan.
Pitung tumbuh di daerah Rawa Belong yang dikenal sebagai arena para
jagoan mengadu dan mengembangkan ilmu maen pukul. Saat remaja, ia
belajar tarekat di Pecenongan pada Sapirin bin Usman bin Fadli. Ia kemudian
belajar silat Cimande Sera pada Haji Naipin.
Usai berguru, Pitung kembali ke rumah orangtuanya dan bekerja
sebagai penunduh (penebas buah-buahan milik warga). Hasilnya ia jual ke pasar
Rawa Belong.
Aksi si Pitung dimulai saat sepulang dari pasar Tanah Abang,
Jakarta Pusat, uang hasil penjualan kambing yang dibawa Pitung dirampas
kelompok Daeng Marais alias Rais, Jawara Legoa berdarah Bugis. Pitung, dibantu
Ji’ih melawan dan mengalahkan Rais dan keempat kawannya.
Kemudian, setelah Pitung dan Ji’ih mengalahkan Rais dan keempat
kawannya, Pitung diminta memimpin mereka. Ketujuh pemuda ini kemudian bertukar
ketrampilan beladiri. Selain Pitung, Ji’ih, dan Rais, mereka adalah:
Abdulrahman peranakan Arab (dari Yaman Selatan) asal Krekot, Mat Jebul marbut
di Cawang, Jakarta Timur, Tocang Gering peranakan Tionghoa asal Kampung Dadap,
Tangerang, serta Mujeran pemuda Depok murid Haji Majid yang juga kawan Haji
Naipin, guru Pitung dan Ji’ih.
Nah, dari sini, muncul anggapan Pitung sebetulnya bukan nama asli.
Si Pitung bukanlah nama orang, tapi nama kelompok, yaitu kelompok tujuh. Dalam
bahasa Jawa Cirebon-Banten, pitung berarti “pitungan” atau “bertujuh”. Pemimpin
mereka adalah Salihun, anak pasangan Piun-Pinah. Salihun inilah yang kemudian
lebih dikenal sebagai si Pitung. Meski begitu, dalam setiap aksinya, setiap
anggota kelompok tujuh mengaku bernama Pitung.
Surat kabar Hindia Olanda dan harian Lokomotief, yang dikutip
Margaret van Till, mencatat aksi kelompok Pitung berlangsung selama 16 bulan,
dari tanggal 26 Juni 1892 sampai 19 Oktober 1893. Laporan pertama soal Pitung
di koran Hindia Olanda menyebut Pitung dengan berbagai ejaan. Awalnya Pitiung
disebut sebagai “Bitoeng”, kali lain “Pitang” dan belakangan terus disebut
“Pitoeng.” Koran HindiaOlanda edisi 18 Juli 1892 menyebutkan schout Tanah Abang
menggeledah rumah “seorang Bitoeng” di desa Sukabumi, wilayah selatan Batavia.
Kata “seorang Bitoeng” menunjukkan kalau Pitung adalah komplotan, bukan nama
seseorang.
Aksi Pitung membuat kompeni kerepotan. Pemerintah Hindia Belanda
kemudian membuat sayembara, barang siapa bisa menyerahkan Salihun alias si
Pitung bakal dihadiahi 400 gulden.
Kelompok Pitung kemudian menyingkir ke Marunda, Cilincing, Jakarta
Utara. Di sana, mereka merampok rumah pangung milik tuan tanah asal Bugis, Haji
Safiuddin. Nah, rumah tuan tanah ini yang kemudian dikenal sebagai rumah si
Pitung dan membuat salah kaprah kalau sang jagoan Betawi itu berasal dari
Marunda.
***
Di rumah panggung itu Pitung dan kawan-kawannya tinggal sementara.
Pada masa persembunyian, Pitung jatuh hati pada Aisyah, gadis Kali Baru, putri
seorang guru silat, Abdul Halim. Pada ayah Aisyah ini, Pitung belajar silat Syahbandar.
Komplotan si Pitung mulai cerai berai di akhir 1893. Ada yang
tewas, ada yang berhasil lolos. Pada Oktober 1893, van Hinne mengendus jejak
Salihun di Kota Bambu, Tomang. Salihun lari ke pamakaman Tanah Abang. Van Hinne
terus menembakinya hingga ia tersungkur. Salihun tewas Sabtu, 17 Oktober 1893,
pada usia 29 tahun. Hari berikutnya, Minggu, pukul 17.00, ia dimakamkan di
Kampung Baru. Versi lain menyebutkan, ia dimakamkan di Jalan Kemuning, Kota
Bambu, Tomang, Jakarta Barat. Ada pula yang menyebut makamnya ada di bawah
rerimbunan pohon bamboo di Jalan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, di depan
kantor Telkom. Ada juga yang menyebut Pitung dimakamkan di hutan Jatijajar,
Tapos, Depok.
Banyak yang percaya, Pitung sejatinya kebal. Yang bisa
menewaskannya hanya peluru emas. Pitung juga dipercaya bisa bangkit lagi
setelah mati.
Dalam salah satu rancak (pantun) Betawi tentang kematian Pitung
menyebut kuburan Pitung dijaga pagi-siang-malam. “Kabarnya jago Pitung,
dalam kuburan idup lagi” tapi setelah digali karena penasaran “Dilongok
dikeker, bangkenye masi ade.”
Untuk merayakan kemenangannya van Hinne menggelar pesta besar “tuju
ari tuju malem.”
***
Pasca kematian Salihun alias Pitung maupun komplotannya, perlawanan
masyarakat Betawi tak surut.
Seperti dicatat Pramoedya di Rumah Kaca, sisa-sisa
gerombolan si Pitung terdapat di Cibinong, Cibarusa, dan Cileungsi, masih dalam
kawasan Betawi dan Buitenzorg (Bogor). Polisi Hindia Belanda berhasil menangkap
300 perusuh. Di antara mereka, 8 orang pemimpin gerombolan kebal peluru.
Betul kata pepatah, mati satu pahlawan, tumbuh seribu penggantinya.
***dari berbagai Sumber
Dan berikut Photo-photo rumah Si Pitung yang kami abadikan:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar