Hit-Id.com - PTC Indonesia

Pages

4

10.2.13

Cerita Si Pitung



Kisah Si Pitung menggambarkan sosok pendekar Jakarta dalam menghadapi ketidakadilan yang ditimbulkan oleh penguasa Hindia Belanda pada masa itu.
Kisah ini diyakini nyata keberadaannya oleh para tokoh masyarakat Betawi terutama di daerah Kampung Marunda di mana terdapat Rumah dan Masjid lama.

Sejarah
Pada dasarnya ada tiga versi yang tersebar di masyarakat mengenai si Pitung yaitu versi Indonesia, Belanda, dan Cina. Masing-masing penutur versi cerita tersebut memiliki versi yang berbeda dari cerita si Pitung itu sendiri. Apakah Si Pitung sebagai seorang pahlawan berdasarkan versi cerita Indonesia, dan sebagai seorang penjahat jika dilihat dari versi Belanda. Cerita Si Pitung ini dituturkan oleh masyarakat Indonesia hingga saat ini dan menjadi bagian lengenda serta warisan budaya Betawi khususnya dan Indonesia umumnya. Kisah Legenda Si Pitung ini kadang-kadang dituturkan menjadi rancak (sejenis balada), sair, atau cerita Lenong. Menurut versi Koesasi (1992), Si Pitung diidentikan dengan tokoh Betawi yang membumi, muslim yang shaleh, dan menjadi contoh suatu keadilan sosial.

Tempat Lahir

Si Pitung lahir di daerah Pengumben sebuah kampung di Rawabelong yang pada saat ini berada di sekitar lokasi Stasiun Kereta Api Palmerah. Ayahnya bernama Bang Piung dan ibunya bernama Mpok Pinah. Pitung menerima pendidikan di pesantren yang dipimpin oleh Haji Naipin (seorang pedagang kambing). Seperti yang dikisahkan dalam film Si Pitung (1970).

 

Nama Asli Si Pitung

Si Pitung merupakan nama panggilan asal kata dari Bahasa Jawa Pituan Pitulung (Kelompok Tujuh), kemudian nama panggilan ini menjadi Pitung. Nama asli Si Pitung sendiri adalah Salihun (Salihoen).

Awal Legenda

Menurut versi van Till (1996) Si Pitung merupakan seorang kriminal, yang diawali ketika Si Pitung menjual kambing di pasar Tanah Abang, kemudian dicuri oleh para “centeng” (Si Gomar menurut versi Film Si Pitung (1970) tuan tanah. Si pitung kembali pulang dengan tangan hampa, namun Si Pitung hanya tersenyum dan menjawab bahwa dia telah di rampok.Ayah Pitung yang marah kemudian menyuruh Pitung pergi mencari uang tersebut dan akhirnya dapat menemukannya kembali. Namun, para pencuri alias "centeng" tersebut mengajak Si pitung untuk bergabung sebagai perampok dan menjadi ketua mereka. Pada awalnya Si pitung menolak, tetapi akhirnya Si pitung bergabung dengan mereka. Legenda yang dikisahkan dalam film Si Pitung, Si Pitung dan Kawanan-nya menggunakan cara yang “pintar” dengan menyamar sebagai pegawai Pemerintah Belanda (Di Versi Film Si Pitung, Pitung sebagai "Demang Mester Cornelis / Wilayah Mester Cornelis saat ini disebut sebagai Jatinegara merupakan bagian dari Kota Jakarta Timur") dan Dji-ih sebagai “Opas”). Kemudian melakukan penipuan dengan memberikan surat kepada Haji Saipudin agar Haji Saipudin menyimpan uang di tempat Demang Mester Cornelis. Pitung menyatakan bahwa uang tersebut dalam pengawasan pencurian. Haji Saipudin setuju kemudian Pitung dan Kelompoknya membawa lari uang tersebut.
Akibat dari hal ini kemudian Si Pitung dan Kawanannya menjadi buronan “kompenie”. Hal ini menarik perhatian komisaris polisi yang bernama Van Heyne (“Schout Van Heyne, atau Van Heijna, Scothena, atau “Tuan Sekotena”). Secara resmi menurut Van Till (1996) nama petugas polisi pada saat ini bernama A.W. Van Hinne yang pernah bertugas di Batavia dari tahun 1888 - 1912. (Menurut catatan kepolisis Belanda. Van Hinne memulai karier sebagai pegawai klerikal Pemerintah Belanda, kemudian menjadi Deputi Kehutanan, dan Polisi di beragam tempat di Indonesia. Van Hinne menderita sakit yang serius, sesudah dikembalikan ke Eropa untuk penyembuhan. Pada akhir tahun 1880 Van Hinne menjadi seorang Perwira Polisi di Batavia (Stambock van Burgerlijke Ambtenaren in Nederlandsch-Indie en Gouvernements Marine, ARA (Aigemeen Rijksarchief), Den Haag, register T.f. 274). Van Hinne segera memburu Si Pitung dengan membabi buta. Akhirnya dia dapat menangkap Pitung, tetapi kemudian Si Pitung berhasil melarikan diri dari tahanan ka-Demangan Meester Cornelis. Van Till (1996) menyatakan bahwa Si Pitung mampu bebas dengan kekuatan “magis” tetapi menurut versi Film Si Pitung (1970), Si Pitung lepas dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam.

Kemudian Hinne menekan Haji Naipin (Guru Si Pitung) untuk membuka rahasia kesaktian si Pitung berupa “jimat” sehingga Hinne dapat menangkap Si Pitung secara lebih cepat. Versi lainya menyatakan bahwa Pitung dikhianati oleh temannya sendiri (kecuali Dji-ih) walaupun versi ini diragukan kebenarannya. Tetapi menurut Versi Film Si Pitung Banteng Betawi (1971) dikhianati oleh Somad yang memberi tahukan kelemahan Pitung untuk mengambil “jimatnya”. Kisah lainnya menyatakan bahwa Pitung telah diambil “Jimat Keris”-nya sehingga kesaktiannya menjadi lemah. Versi lainnya mengatakan bahwa kesaktian Pitung hilang setelah dipotong rambut, dan juga versi lain mengatakan bahwa kesaktiannya hilang karena sesorang melemparkan telur. Akhirnya Pitung meninggal karena luka tembak Hinne (Berdasarkan versi Film Si Pitung, Pitung mati tertembak karena peluru emas). Sesudah Si Pitung meninggal, makamnya dijaga oleh tentara karena percaya bahwa Si Pitung akan bangkit dari kubur hal ini tersirat dari Rancak Si Pitung dalam Van Till (1996):
Si Pitung sudah mati dibilangin sama sanak sudaranya
Digotong di Kerekot Penjaringan kuburannya
Saya tau orang rumah sakit nyang bilangin
Aer keras ucusnya dikeringin
Waktu dikubur pulisi pade iringin
Jago nama Pitung kuburannya digadangin
Yang gadangin kuburannya Pitung dari sore ampe pagi
Kalo belon aplusan kaga ada nyang boleh pegi
Sebab yang gadangin waktu itu sampe pagi
Kabarnya jago Pitung dalam kuburan idup lagi
Yang gali orang rante mengaku paye
Belencong pacul itu waktu suda sedie
Lantaran digali Tuan Besar kurang percaye
Dilongok dikeker bangkenye masi die
Memang waktu itu bangke Pitung diliat uda nyata
Dicitak di kantor, koran kantor berita
Ancur rumuk tulang iganya, bekas kena senjata
Nama Pitung suda mati Tuan Hena ke Tomang bikin pesta
Pesta itu waktu keiewat ramenye
Segala permaenan kaga larangannya
Tuju ari tuju malem pesta permisiannya
Sengaja bikin pesta mau tangkep kawan-kawannya
Nama Pitung mau ditangkep kawan-kawannya

 

Pitung Robin Hood ala Betawi

Menurut Damardini (1993:148) dalam Van Till (1996):
Pitung memang perampok. Mungkin saja Haji Samsudin dipukuli ketika itu. Kalau menurut istilah sekarang, Pitung itu pengacau, dan dicari oleh Pemerintah. Pitung memang jahat. Pekerjaannya merampok dan memeras orang-orang kaya. Menurut kabar, hasil rampokannya dibagikan pada rakyat miskin. Namun sebenarnya tidak. Tidak ada perampok yang rela membagi hasil rampokannya dengan cuma-cuma, bukan? Menurut kabar, Pitung menyumbangkan uangnya pada mesjid-mesjid. Saat itu mesjid hanya ada di Pekojan, Luar Batang, dan Kampung Sawah. Tidak ada bukti bahwa Pitung mendermakan uangnya di sana.'
Pitung menjadi karakter sebagai Robin Hood versi Betawi dikembangkan oleh Lukman Karmani (Till, 1996).Karmani menulis novel Si Pitung, novel ini dikisahkan bahwa Si Pitung sebagai pahlawan sosial. Menurut Rahmat Ali (1993).
'Pitung sebagai tokoh kisah Betawi masa lampau memang dikenal sebagai perampok, tetapi hasil rampokan itu digunakan untuk menolong orang-orang yang menderita. Dia adalah Robin Hood Indonesia. Walaupun demikian pihak yang berwenang tidak memberikan toleransi, orang yang bersalah harus tetap diberi hukuman yang setimpal' (Rahmat Ali 1993:7)
Beragam pro dan kontra banyak menyelubungi di balik kisah legenda Si Pitung ini, tetapi pada dasarnya bahwa tokoh Si Pitung adalah cerminan pemberontakan sosial yang dilakukan oleh "Orang Betawi" terhadap penguasa pada saat itu yaitu Belanda. Apakah hal ini dipertanyakan valid atau tidaknya, kisah Si Pitung begitu harum didengar dari generasi ke generasi oleh masyarakat Betawi sebagai tanda pembebasan sosial dari belenggu penjajah. Hal ini ditunjukkan dari Rancak Pitung di atas bagaimana Si Pitung begitu ditakuti oleh pemerintah Belanda pada saat itu.

Kisah Nyata Si Pitung

Berdasarkan penelusuran van Till (1996) berdasarkan Hindia Olanda 22-11-1892 (Koran Terbitan Malaya (Malaysia pada saat ini)). Pada tahun 1892 Si Pitung dikenal pada sebagai “One Bitoeng”, “Pitang", kemudian menjadi “Si Pitoeng” (Hindia Olanda 28-6-1892:3; 26-8-1892:2). Laporan pertama dari surat kabar ini menunjukkan bahwa schout Tanah Abang mencari rumah “One Bitoeng” di Sukabumi. Dari hasil penemuannya ditemukan Jas Hitam, Seragam Polisi dan Topi, serta beberapa perlengkapan lainnya yang digunakan untuk mencuri kampung (Hindia Olanda, 28-6-1892:2). Sebulan kemudian polisi menggeledah rumahnya kembali dan ditemukan uang sebesar 125 gulden. Hal ini diduga uang curian dari Nyonya De C dan Haji Saipudin seorang Bugis dari Marunda (Hindia Olanda 10-8-1892:2;2; 26-8-1892:2). Kemudian Si Pitung menggunakan senjata untuk mencuri pada tanggal 30 Juli 1892, ketika itu Si Pitung dan lima kawanannya (Abdoelrachman, Moedjeran, Merais, Dji-ih, dan Gering) menerobos rumah Haji Saipudin dengan mengancam bahwa Haji Saipudin akan ditembak.
Pada tahun 1892 Pitung dan kawanannya ditangkap oleh polisi sesudah adanya nasihat dari Kepala Kampung Kebayoran yang menerima 50 ringgit (Hindia Olanda 26-8-1892:2) untuk menangkap Si Pitung. Setelah ditangkap, kurang dari setahun kemudian pada musim semi 1893, Pitung dan Dji-ih merencanakan kabur dengan cara yang misterius dari tahanan Meester Cornelis. Sebuah investigasi kemudian dilakukan oleh Asisten Residen sendiri, tetapi tidak berhasil.

Karena kejadian tersebut Kepala Penjara dicurigai melepaskan si Pitung dan Dji-ih. Akhirnya seseorang Petugas Penjara mengakui bahwa dia meminjamkan sebuah "belincong (sejenis linggis pencungkil)” kepada Si Pitung, yang kemudian digunakan untuk membongkar atap dan mendaki dinding (Hindia Olanda, 25-4-1893:3; Lokomotief 25-4 1893:2).
Akibatnya, Si Pitung lepas lagi. Berdasarkan rumor, Pitung pernah menampakkan diri ke seorang wanita di sebuah perahu dengan nama Prasman. Detektif mencoba mencari di kapal tersebut (Hindia Olanda, 12-5-1893:3), tetapi hasilnya Pitung tidak dapat ditemukan. Semakin sulitnya menemukan Si Pitung, menyebabkan harga untuk penangkapan Si Pitung menjadi meningkat sebesar 400 Gulden. Pemerintah Belanda pada saat itu ingin "menembak mati" di tempat, tetapi sebagian pejabat mengatakan jika Pitung ditembak justru akan menumbuhkan semangat patriotik, sehingga niat ini diurungkan oleh kepolisian Batavia untuk menembak ditempat walaupun pada akhirnya hal ini dilakukan juga.
Sebagai tindakan balas dendam, Pitung melakukan pencurian secara kekerasan termasuk dengan menggunakan sejata api. Akhirnya Pitung dan Dji-ih membunuh seorang polisi intel yang bernama Djeram Latip (Hindia Olanda 23-9-1893:2). Dia juga mencuri wanita pribumi, Mie dan termasuk pakaian laki-laki serta pistol revolver dengan pelurunya. Pernyataan ini didukung oleh Nyonya De C seorang pedagang wanita di Kali Besar menyatakan bahwa Pitung mencuri sarung yang bernilai ratusan Gulden dari perahu-nya (Hindia Olanda 22-11-1892:2).
Dji-ih ditangkap kembali di kampung halamannya, ketika sedang menderita sakit. Pada saat itu Dji-ih pulang ke kampung halamannya untuk memperoleh pengobatan. Kemudian dia pindah ke rumah orang tua yang dikenal. Kepala kampung pada saat itu (Djoeragan) melaporkannya ke Demang kemudian memerintahkan tentara untuk menangkap Dji-ih dirumahnya. Karena dia terlalu sakit, dia tidak berdaya untuk melawan, walaupun pada saat itu pistol dalam jangkauannya (Hindia Olanda 19-8-1893:2). Dia menyerah tanpa perlawanan. Untuk menutupi hal ini kemudian Pemerintah Belanda melansir di Java-Bode (15-8-1893:2) bahwa Dji-ih kabur ke Singapura. Informan yang bertanggungjawab melaporkan Dji-ih kemudian ditembak mati oleh Pitung di suatu tempat yang tak jauh dari Batavia beberapa minggu kemudian.
“'Itoe djoeragan koetika ketemoe Si Pitoeng betoelan di tempat sepi troes, Si djoeragan menjikip pada Si Pitoeng dan dari tjipetnja Si Pitoeng troes ambil pestolnja dari pinjang, lantas tembak si djoeragan itoe menjadi mati itoe tempat djoega.' (Hindia Olanda 1-9-1893:2.)
Beberapa bulan kemudian, di Bulan Oktober, Kepala Polisi Hinne mempelajari dari informan bahwa Pitung terlihat di Kampung Bambu, kampung di antara Tanjung Priok dan Meester Cornelis. Kemudian dalam perajalanannya Hinne diberikan laporan bahwa Pitung telah pindah ke arah pekuburan di Tanah Abang (Hindia Olanda 18-10-1893), kemudian Hinne menembaknya dalan penyergapan itu. Pitung ditembak di tangan, kemudian Pitung membalasnya. Kemudian Hinne menembak kedua kalinya, tetapi, meleset, dan peluru ketiga mengenai dada dan membuatnya terjerembap di tanah. Sehari sesudah kematiannya yaitu hari Senin, jenazah dibawa ke pemakaman Kampung Baru pada jam 5 sore.
Setelah Hinne menangkap Pitung setahun kemudian dia dipromosikan menjadi Kepala Polisi Distrik Tanah Abang untuk mengawasi seluruh Metropolitan Batavia-Weltevreden. Setelah kejadian tersebut Pemerintah Hindia Belanda melakukan pencegahan agar "Pitung"-"Pitung" yang lain tidak terjadi lagi di Batavia. Bahkan karena ketakutannya makam Si Pitung setelah kematiannya, dijaga oleh Pemerintah Belanda agar tidak diziarahi oleh masyarakat pada waktu itu.

 

Kesaktian dan Kematian Si Pitung

Berdasarkan cerita legenda, Si Pitung dapat dibunuh oleh Belanda dengan beragam argumen tersebut di atas. Menurut Hindia Olanda (18-10-1893:2) sebelum ditangkap Pitung dalam keadaan rambut terpotong, beberapa jam sebelum kematiannya pada hari Sabtu. Seperti yang diceritrakan oleh legenda bahwa kesaktian Si Pitung hilang akibat jimat-nya diambil orang (Versi Film Si Pitung Banteng Betawi), tetapi yang menarik, versi lain menyatakan, bahwa Si Pitung dapat di-"lemahkan" jika dipotong rambut-nya. Berdasarkan koran Hidia Olanda dikatakan bahwa sebelum kematiannya Si Pitung telah dipotong rambutnya.

 

Pemakaman Si Pitung

Sesudah kematian Si Pitung, makamnya dikawal oleh tentara, karena beberapa masyarakat percaya dia akan bangkit dari kematian. Menurut Rancak Si Pitung dijelaskan bagaimana kondisi sesudah kematian Si Pitung.
"Si Pitung sudah mati dibilangin sama sanak sudaranya
Digotong di Kerekot Penjaringan kuburannya
Saya tau orang rumah sakit nyang bilangin
Aer keras ucusnya dikeringin
Waktu dikubur pulisi pade iringin
Jago nama Pitung kuburannya digadangin
Yang gadangin kuburannya Pitung dari sore ampe pagi
Kalo belon aplusan kaga ada nyang boleh pegi
Sebab yang gadangin waktu itu sampe pagi
Kabarnya jago Pitung dalam kuburan idup lagi
Yang gali orang rante mengaku paye
Belencong pacul itu waktu suda sedie
Lantaran digali Tuan Besar kurang percaye
Dilongok dikeker bangkenye masi die
Memang waktu itu bangke Pitung diliat uda nyata
Dicitak di kantor, koran kantor berita
Ancur rumuk tulang iganya, bekas kena senjata
Nama Pitung suda mati Tuan Hena ke Tomang bikin pesta
Pesta itu waktu keiewat ramenye
Segala permaenan kaga larangannya
Tuju ari tuju malem pesta permisiannya
Sengaja bikin pesta mau tangkep kawan-kawannya
Nama Pitung mau ditangkep kawan-kawannya."










Cerita Lainnya:

WARTAWAN yang mantan sineas Tanu TRH atau Tan Tjoei Hock menulis soal Si Pitung di majalah Intisari terbitan April 1971.
Ia mengisahkan cerita yang didengar dari ibunya. Waktu itu, Pitung berada di rumah kakeknya, tuan tanah Tionghoa yang punya tanah luas di daerah pinggiran Jakarta. Walau kakeknya tuan tanah, rupanya Pitung bersahabat dengan kakek Tanu.

Diceritakan Tanu, ibu bersama nenek dan beberapa bibinya di bagian dalam rumah, sedang asyik main congklak. Sedang Pitung mengobrol bersama kakek di depan. Seketika, Pitung masuk ke ruang dalam. Kepada para wanita itu ia berbisik, “Jangan katakan kepada Tuan Hinne bahwa saya ada di sini.” Dengan tenang ia terus masuk ke belakang, ke arah dapur.
Nenek, ibu, dan yang lain segera tahu bahwa schout van Hinne (polisi Belanda yang mendapat tugas menangkap Pitung) menyatroni rumah kakek Tanu. Dari ruang depan terdengar suara van Hinne bertanya. “Tempang (nama kakek) mana Pitung?”

Dengan tenang kakek menjawab, “Pitung? Saya tidak melihatnya.”
“Jangan bohong, Tempang. Saya tahu dia ada di sini. Awas kalau kowe berani sembunyikan dia.”
Tanu bercerita, kakeknya mempersilakan memeriksa sendiri. Van Hinne masuk rumah diiringi beberapa bawahannya. Seluruh rumah digeledah, termasuk kamar-kamar, kolong tempat tidur, sudut-sudut yang tersembunyi. Dapur dan halaman belakang rumah juga tak luput dicek. Si Pitung tak ditemukan di rumah itu.
Sebelum pulang, van Hinne mengancam, “Awas, Tempang! Saya tangkap kowe, kalau berani sembuyikan Pitung!”
***

Pitung dipercaya memiliki sejumlah ajian sakti selain jago maen pukul alias berkelahi. Konon, ia memiliki ajian Rawa Rontek (ajian yang membuat dirinya kembali bugar dan hidup lagi selama menyentuh tanah, meski sudah meninggal atau sekarat); ajian Halimunan (ajian yang membuat kehadirannya seolah tak tampak oleh orang lain alias menghilang); dan ajian Pancasona (ajian yang membuatnya kebal).
“Ketiga ajian itu diperoleh Pitung ketika belajar maen pukul dan agama pada Haji Naipin di Pondok Pesantren Menes, Kampung Rawa Bebek, Banten,” kata Umar Salbini, seorang pekerja seni Betawi yang diwawancara Windoro Adi untuk bukunya, Batavia 1740: Menyisir Jejak Betawi (2010).

Bisa jadi, Pitung menerapkan ilmu ajian Halimunan hingga sosoknya tak kelihatan kumpeni. Namun, menurut ibunda Tanu TRH, Pitung “dengan tubuhnya yang kecil, sangat pandai menyembunyikan diri, dan bisa menyelinap di sudut-sudut yang terlalu sempit bagi orang lain.”
Memangnya, seperti apa sosok Pitung? Sang bunda menuturkan, Pitung “perawakannya kecil. Tingginya kira-kira sekian,” sang bunda menjelaskan mengangkat sebelah tangannya. Tampang si Pitung sama sekali tak menarik perhatian khalayak. Sikapnya pun tidak seperti jagoan. Kulit wajahnya agak kehitam-hitaman dengan ciri khas: sepasang cambang panjang tipis dengan ujung melingkar ke depan.
Sosok si Pitung yang berperawakan kecil agak bertentangan dengan gambaran Pitung yang kita kenal selama ini. Pitung digambarkan sebagai pahlawan yang gagah. Pemuda bertubuh besar, kuat, lagi keren. Pitung bertampang keren muncul dalam film-film soal Pitung mulai dari zaman Belanda hingga Dicky Zulkarnaen di tahun 1970-an.

Pada satu bagian novel Rumah Kaca (buku keempat tetralogi Pulau Buru) Pramoedya Ananta Toer melukiskan Pitung berkumis dan berjenggot jarang, berkulit langsat, tidak tinggi, berbadan gempal. Setiap melakukan penyerangan, ia berjubah putih, bersorban, pada kiri dan kanannya berjalan dua pembantunya mengapit membawakan  tempat sirih dan senjatanya. (Rumah Kaca, edisi 2002, hal. 58)
***

Bukan rumah Si Pitung di Marunda, Jakarta Utara. (dok.Antara)
Wajar saja bila tak ditemukan keseragaman atas sosok Pitung. Sosok ini memang sulit dicari kebenaran sejarahnya. Kata Windoro Adi, dari mulut ke mulut riwayat Pitung berubah. Kebenaran sejarah kemudian jadi tak penting lagi. Yang utama, bagi masyarakat Betawi, mengabadikan keberpihakan Pitung pada kaum miskin yang tertindas. Budayawan Betawi Ridwan Saidi dikutip Windoro, malah mengartikannya sebagai cara masyarakat asli Betawi yang mulai terpinggirkan di era 1970-an dengan menghadirkan sosok pahlawan Betawi. 

Berdasarkan tulisan Jali Jengki, yang dikutip Windoro, Pitung lahir di Pos Pengumben, Sukabumi Ilir, Rawa Belong, Jakarta Barat tahun 1864. Pitung adalah bungsu dari 4 bersaudara pasangan Piun-Pinah.
Piun berasal dari Cikoneng, Banten, sedang Pinah dari desa Singapura, Kecamatan Celancang, Cirebon Utara. Pinah memounyai adik bernama Ji’ih yang tinggal di Kemandoran, Rawa Belong. Di kemudian hari, Pitung dan Ji’ih jadi sepasang jagoan yang tak terpisahkan.
Pitung tumbuh di daerah Rawa Belong yang dikenal sebagai arena para jagoan mengadu dan mengembangkan ilmu maen pukul. Saat remaja, ia belajar tarekat di Pecenongan pada Sapirin bin Usman bin Fadli. Ia kemudian belajar silat Cimande Sera pada Haji Naipin.
Usai berguru, Pitung kembali ke rumah orangtuanya dan bekerja sebagai penunduh (penebas buah-buahan milik warga). Hasilnya ia jual ke pasar Rawa Belong.
Aksi si Pitung dimulai saat sepulang dari pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, uang hasil penjualan kambing yang dibawa Pitung dirampas kelompok Daeng Marais alias Rais, Jawara Legoa berdarah Bugis. Pitung, dibantu Ji’ih melawan dan mengalahkan Rais dan keempat kawannya.

Kemudian, setelah Pitung dan Ji’ih mengalahkan Rais dan keempat kawannya, Pitung diminta memimpin mereka. Ketujuh pemuda ini kemudian bertukar ketrampilan beladiri. Selain Pitung, Ji’ih, dan Rais, mereka adalah: Abdulrahman peranakan Arab (dari Yaman Selatan) asal Krekot, Mat Jebul marbut di Cawang, Jakarta Timur, Tocang Gering peranakan Tionghoa asal Kampung Dadap, Tangerang, serta Mujeran pemuda Depok murid Haji Majid yang juga kawan Haji Naipin, guru Pitung dan Ji’ih.

Nah, dari sini, muncul anggapan Pitung sebetulnya bukan nama asli. Si Pitung bukanlah nama orang, tapi nama kelompok, yaitu kelompok tujuh. Dalam bahasa Jawa Cirebon-Banten, pitung berarti “pitungan” atau “bertujuh”. Pemimpin mereka adalah Salihun, anak pasangan Piun-Pinah. Salihun inilah yang kemudian lebih dikenal sebagai si Pitung. Meski begitu, dalam setiap aksinya, setiap anggota kelompok tujuh mengaku bernama Pitung.

Surat kabar Hindia Olanda dan harian Lokomotief, yang dikutip Margaret van Till, mencatat aksi kelompok Pitung berlangsung selama 16 bulan, dari tanggal 26 Juni 1892 sampai 19 Oktober 1893. Laporan pertama soal Pitung di koran Hindia Olanda menyebut Pitung dengan berbagai ejaan. Awalnya Pitiung disebut sebagai “Bitoeng”, kali lain “Pitang” dan belakangan terus disebut “Pitoeng.” Koran HindiaOlanda edisi 18 Juli 1892 menyebutkan schout Tanah Abang menggeledah rumah “seorang Bitoeng” di desa Sukabumi, wilayah selatan Batavia. Kata “seorang Bitoeng” menunjukkan kalau Pitung adalah komplotan, bukan nama seseorang.
Aksi Pitung membuat kompeni kerepotan. Pemerintah Hindia Belanda kemudian membuat sayembara, barang siapa bisa menyerahkan Salihun alias si Pitung bakal dihadiahi 400 gulden.
Kelompok Pitung kemudian menyingkir ke Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Di sana, mereka merampok rumah pangung milik tuan tanah asal Bugis, Haji Safiuddin. Nah, rumah tuan tanah ini yang kemudian dikenal sebagai rumah si Pitung dan membuat salah kaprah kalau sang jagoan Betawi itu berasal dari Marunda.
***

Di rumah panggung itu Pitung dan kawan-kawannya tinggal sementara. Pada masa persembunyian, Pitung jatuh hati pada Aisyah, gadis Kali Baru, putri seorang guru silat, Abdul Halim. Pada ayah Aisyah ini, Pitung belajar silat Syahbandar.

Komplotan si Pitung mulai cerai berai di akhir 1893. Ada yang tewas, ada yang berhasil lolos. Pada Oktober 1893, van Hinne mengendus jejak Salihun di Kota Bambu, Tomang. Salihun lari ke pamakaman Tanah Abang. Van Hinne terus menembakinya hingga ia tersungkur. Salihun tewas Sabtu, 17 Oktober 1893, pada usia 29 tahun. Hari berikutnya, Minggu, pukul 17.00, ia dimakamkan di Kampung Baru. Versi lain menyebutkan, ia dimakamkan di Jalan Kemuning, Kota Bambu, Tomang, Jakarta Barat. Ada pula yang menyebut makamnya ada di bawah rerimbunan pohon bamboo di Jalan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, di depan kantor Telkom. Ada juga yang menyebut Pitung dimakamkan di hutan Jatijajar, Tapos, Depok. 
Banyak yang percaya, Pitung sejatinya kebal. Yang bisa menewaskannya hanya peluru emas. Pitung juga dipercaya bisa bangkit lagi setelah mati.
Dalam salah satu rancak (pantun) Betawi tentang kematian Pitung menyebut kuburan Pitung dijaga pagi-siang-malam. “Kabarnya jago Pitung, dalam kuburan idup lagi” tapi setelah digali karena penasaran “Dilongok dikeker, bangkenye masi ade.”
Untuk merayakan kemenangannya van Hinne menggelar pesta besar “tuju ari tuju malem.”
***

Pasca kematian Salihun alias Pitung maupun komplotannya, perlawanan masyarakat Betawi tak surut.
Seperti dicatat Pramoedya di Rumah Kaca, sisa-sisa gerombolan si Pitung terdapat di Cibinong, Cibarusa, dan Cileungsi, masih dalam kawasan Betawi dan Buitenzorg (Bogor). Polisi Hindia Belanda berhasil menangkap 300 perusuh. Di antara mereka, 8 orang pemimpin gerombolan kebal peluru.
Betul kata pepatah, mati satu pahlawan, tumbuh seribu penggantinya.

***dari berbagai Sumber

Dan berikut Photo-photo rumah Si Pitung yang kami abadikan:






























 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar